Menanti program insentif pemerintah dalam memasyarakatkan sel surya (Bagian 1)

Ada fakta menarik dari industri sel surya dunia. Sejak tahun 1995 – 2001, terjadi lonjakan pertumbuhan produksi sel surya dunia sebesar 33% per tahun hingga saat ini, sehinga menjadikan sel surya sebagai industri energi terbaharukan yang paling pesat perkembangannya [1]. Pada tahun 2006, modul surya dengan total daya 2.4 Giga-Watts (2400 MW) dengan pangsa pasar sebesar US$ 8 Milyar telah dipasarkan di seluruh dunia dengan proyeksi total pemasaran sebesar 5-6 Giga-Watts pada 2010 nanti [2]. Meski harga sel surya dunia masih berkisar US$ 3-5/Watt (belum dengan perangkat pelengkapnya), masih sangat mahal dibandingkan dengan output daya yang dihasilkan, namun hal tersebut agaknya tidak menghalangi penerimaan masyarakat dunia dalam memakai produk ini.

gambar-1.jpg

Gambar di atas merupakan total produksi komulatif sel surya yang terpasang hingga tahun 2006. Sedangkan gambar di bawah merupakan produsen sel surya dunia yang masih didominasi oleh Jepang, Jerman dan AS [3]

gambar-2.jpg

Agak sedikit melebar, ketika penulis tengah mempersiapkan artikel ini, harga minyak dunia sempat mencapai US$ 100/barel sebagaimana telah disaksikan melalui CNN secara live pada hari Ahad 6 Januari 2008 lalu ketika melaporkan dari lantai NYMEX. Namun di sisi lain tidak ada kepanikan masyarakat mendengar kenaikan dahsyat harga minyak yang mencapai satu setengah kali lipat sejak awal 2007. Justru pemerintah jauh-jauh hari telah mewanti-wanti bahwa kenaikan harga minyak tidak perlu dicemaskan masyarakat (Suara Pembaruan, 21 Desember 2007), meski banyak pihak pula yang meragukan hal ini. Jelas sebagaimana dimahfumi bersama, adanya campur tangan negara dalam mengontrol harga minyak melalui mekanisme subsidi BBM, kenaikan harga minyak yang menakjubkan itu tidak sampai memberikan dampak langsung terhadap seluruh lapisan masyarakat, selain pula karena negara pun mendapat berkah dari kenaikan harga minyak tersebut.

Dua contoh fenomena di atas sejatinya setali tiga uang, meski berbeda ending cerita. Kedua sumber energi yakni minyak dan teknologi sel surya berada pada kondisi yang sama sama tidak dapat dikatakan murah, setidaknya untuk saat ini. Perbedaan mencolok ada pada campur tangan negara dalam menyalurkan kedua sumber energi tersebut ke tangan masyarakat dengan harga yang terjangkau. Jika bahan bakar minyak (BBM) yang dinikmati oleh masyakar mendapat subsidi negara, tidak halnya dengan sel surya sebagai salah satu teknologi energi alternatif. Sehingga pada kasus Indonesia, ada pandangan bahwa teknologi sel surya masih merupakan teknologi yang sulit dijangkau masyarakat luas meski kesadaran maupun manfaat akan penggunaan energi bersih dan terbaharukan semakin meningkat. Hal ini diperparah dengan tidak adanya pabrik sel surya satu pun di Indonesia serta masih diberlakukannya kebijakan impor sel surya 100% padahal kepulauan di garis khatulistiwa ini bermandikan sinar matahari sepanjang tahunnya (lihat guntingan berita Kompas di Blog ini).

Hal ini tidak terjadi di negara-negara yang sudah menjadikan teknologi sel surya sebagai salah satu teknologi penghasil energi alternatif seperti Jepang, Jerman serta AS. Dalam kasus mereka, harga jual sel surya yang jatuh ke tangan konsumen diatur dan ditekan sedemikian rupa sehingga pemanfaatan sel surya sudah semakin optimal sebagaimana disinggung pada peningkatan produksi sel surya lebih dari 30% per tahun di atas.

Pengaturan harga sel surya atau yang lebih dikenal dengan program insentif pemerintah tidaklah seragam, namun memiliki pola yang sama; yakni memberikan program insentif biaya bagi produsen maupun konsumen sel surya yang hendak berinvestasi maupun membeli sel surya, merangsang masyarakat beralih ke energi alternatif sebagai langkah diversifikasi energi, serta mendorong kegiatan penelitian untuk memaksimalkan efisiensi sel surya dari yang ada saat ini.

Mengurangi emisi CO2 and rural electrification

Pada umumnya, program insentif pemerintah dalam menekan harga sel surya ditujukan kepada end user alias konsumen, yakni masyakat luas. Meski demikian masyarakat yang menjadi sasaran program ini memiliki kondisi obyektif yang berbeda di negara maju maupun berkembang.

Di negara maju, penekanan harga sel surya dimaksudkan untuk mengurangi emisi CO2, mendiversifikasi energi, serta lebih ke arah peningkatan kualitas lingkungan. Dapat dikatakan pula, rekomendasi Protokol Kyoto dalam menekan emisi CO2 negara-negara maju turut berpengaruh besar dalam dikeluarkannya program insentif tersebut sebagaimana jamak ditemui di Jepang, Korea, Eropa barat dan negara bagian California di AS. Saat ini, Building-Integrated Photovoltaic (BIPV) atau hunian yang terintegrasi dengan sel surya merupakan salah satu bukti mencolok penggunaan sel surya di tengah-tengah masyarakat. Jelas dengan jalan menekan harga sel surya, semakin banyak masyarakat yang mampu memanfaatkan sel surya, dan semakin besar pula permintaan dan produksi sel surya.

bipv-2.jpg

Hal sebaliknya terjadi di negara berkembang. Dengan tingkat kesejahteraan ekonomi yang masih timpang serta daya beli yang lebih rendah dari negara maju, program insentif pemerintah dalam menekan harga sel surya lebih difokuskan pada usaha pemberdayaan masyarakat di pedalaman, atau daerah terisolasi melalui program rural electrification atau listrik masuk desa dengan mengunakan sel surya.

Di negara berkembang, persoalan ada pada ketidakmerataan distribusi jaringan listrik terutama pada daerah-daerah terpencil yang relatif jauh dari jaringan listrik utama. Beberapa penyebab diantara lain ialah masalah geografis semisal keterpencilan suatu daerah dari pusat karena terhalang perbukitan, laut, hutan di pedalaman maupun masalah teknis-ekonomis semisal rendahnya nilai ekonomis dari investasi pembangunan jaringan listrik ke daerah yang kepadatan penduduknya rendah, termasuk di pedesaan [4].

jaringan-pln.jpg

Untuk kasus spesifik Indonesia, dari 18 juta rumah di pedesaan, terdapat 10 juta rumah yang belum memperoleh akses jarigan listrik dari PLN salah satunya akibat faktor geografis di atas [5]. Salah satu contoh mutakhir ialah kendala jaringan listrik di Kepulauan Seribu selatan yang hanya berjarak 20 km dari ibukota Jakarta, yakni Pulau Untung Jawa, Pulau Pari, Pulau Lancang, Pulau Payung, dan Pulau Tidung yang akhirnya baru tahun 2008 ini akan segera teratasi semenjak 62 tahun kita merdeka (Detikcom, Jumat 28 Desember 2007).

Melalui program rural electrification dengan sokongan pemerintah tersebut, telah banyak daerah pedalaman atau pedesaan di negara-negara berkembang yang berhasil diterangi oleh listrik, berhasil meningkatkan kualitas hidup baik ekonomi maupun pendidikan seperti proyek serupa di Lamongan, Jawa Timur [6]. Rural electrification pula yang membawa sebuah ceruk pasar baru bagi aplikasi sel surya yang khas dan menjadi keunggulan teknologi ini yang juga berkontribusi pada peningkatan produksi sel surya.

rural-electrification.jpg

Harap-harap cemas

Melihat adanya dua kebutuhan utama di atas, serta berkaca dari program insentif negara maju dalam menekan harga sel surya, agaknya patutlah kita menanti dengan harap-harap cemas langkah serupa diambil oleh pemerintah kita. Berharap banyak karena persoalan energi yang sedemikian penting di saat bahan bakar minyak menipis dan hargnya melonjak, namun sekaligus cemas apakah paradigma dan kesadaran pemerintah dalam hal energi masih terpaku pada energi konvensional dalam memecahkan persoalan listrik di tanah air yang pada akhirnya memperlambat penetrasi dan keberpihakan pada jenis energi terbaharukan.

(Bersambung ke bagian 2)

 

Rujukan

[1] Antonio Luque, Steven Hegedus, Handbook of Photovoltaic Science and Engineering, John Wiley and Sons, 2003.

[2] Takashi Tomita, A Convenient Throughway for Solar Electricity, Technical Digest of the International PVSEC-17
Fukuoka, Japan, 2007.

[3] P. Husser, G. Watt, I. Kaizuka, P. Cowley, R. Brundinger, International Trends in Photovoltaic Matrkets, Technical
Digest of
the International PVSEC-17 Fukuoka, Japan, 2007.

[4] I. Chambouleyron, Photovoltaics in the Developing World, Energy 21 (1996) Hal. 385- 394.

[5] Agus Salim Dasuki, Martin Djamin, Ahmad Yusak Lubis, The strategy of photovoltaic technology development in Indonesia, Renewable Energy 22 (2001) Hal. 321-326

[6] Martin Djamin, Agus Salim Dasuki, Ahmad Yusak Lubis, Febrian Alyuswar, Application of photovoltaic systems for
increasing villagers’ income
, Renewable Energy 22 (2001) Hal. 263.

 

5 Comments

Filed under Opini

5 responses to “Menanti program insentif pemerintah dalam memasyarakatkan sel surya (Bagian 1)

  1. waduh..Lamongan itu kampung saya lho..ada rural electrification nya juga ya? kok saya baru tau. Jadi tertarik nih dengan dengan referensinya.
    Btw..kalo gambar yang paling bawah itu gambar rural electrification di daerah mana ya ?

  2. Adhi

    Wah, masak ketinggalan Mba Lita ini. Ya saya cuma dapat referensi dan baca koq. Melihat sendiri tidak. Gambar rural electrification itu saya ambil di internet, bukan gambar di Indonesia. Sekedar untuk mewakili deskripsi tulisan saja…

  3. Leonard

    Sel Surya tentu sangat bermanfaat dan membantu mengurangi pemborosan BBM,Namun mengapa pemerintah hanya berteriak tentang penghematan BBM tetapi tidak peduli dengan pengembangan sel surya? Maksud saya mengapa pemerintah menciptakan sel surya dan membagikan kepada rakyat. Jika ini dilakukan, pemerintah dapat menjual BBM untuk pemasukkan negara,bukan?

  4. 2 tahun yl. saya mendapat info dari teman namanya pak Hendra ( Wang Yong ) bahwa harga per keping 100 watt foto voltaic thin film produksinya di Bekasi, harganya Rp 180.000. Namun sampai saat ini saya belum mendapatkan barang yang saya pesan. Apakah benar adanya informasi ini? Dan berapa harga sebenarnya? Mohon informasi dimana saya bisa membeli meng order keping sel surya thin film ini?

    Terimakasih
    Informasi ditunggu

  5. mitha

    boleh berbagi dikit soal kajian pembangunan pabrik di indo,,apa aja ya parameternya .
    market dll mungkin ga perlu,,,tp bagaimana menetapkan kota yg akan dibangun pabrik sel surya..kriteria apa
    thx

Leave a comment