Mata Kuliah Baru : Energy Materials

Semester Autumn (Musim Gugur) 2008 ini, penulis kebagian jatah mengajar kelas reguler. Alasannya, supervisor sang penulis tidak dapat memberi kuliah secara penuh dalam semester ini berhubung posisi beliau di universitas menuntutnya untuk menghabiskan waktu di gedung rektorat. Walhasil penulis diberi beban mengajar 1 jam mata kuliah per pekan, setiap senin pukul 16.30 โ€“ 17.40. Nama mata kuliahnya Energy Materials. Dalam kesempatan ini, ada baiknya penulis memaparkan secara garis besar apa dan bagaimana konsep Energy Materials maupun seklias perkuliahan itu sendiri.

Kuliah ini termasuk kuliah yang didesain untuk tingkat S-1 (undergraduate) tingkat akhir atau senior. Dilihat dari kurikulumnya, Energy Materials ini merupakan mata kuliah pilihan dan juga masuk kategori mata kuliah di kampus yang diberikan dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Dilihat dari banyaknya peserta kuliah, antusiasme mahasiswa S-1 kampus mengikuti mata kuliah ini cukup besar. Entah karena topik mata kuliahnya menarik dan lumayan up to date, atau karena diberikan dalam bahasa Inggris, yang jelas rata-rata mahasiswa yang hadir mencapai 80%. Ehm, mahasiswa yang saya maksud di sini ialah mahasiswa Korea plus beberapa mahasiswa S-1 asal Cina dari Department of Chemical Engineering.

Tugas penulis sendiri ialah memperkenalkan mahasiswa dengan teknologi sel surya untuk mengkonversi cahaya matahari menjadi energi listrik. Silabus disusun dengan pertama kali memperkenalkan beberapa isu utama mengenai energi, lingkungan dan material, serta kecenderungan global serta beberapa contoh industrialisasi produk-produk sel surya. Beberapa topik dasar mengenai fisika dan kimia sel surya, dasar-dasar sel surya/semikonduktor jelas merupakan silabus yang perlu diajarkan sebelum masuk ke arah proses pembuatan sel surya dan memperdalam beberapa jenis sel surya.

Energy Materials?

Topik yang berkaitan dengan energi saat ini tengah menjadi fokus dan tujuan akhir dari banyak penelitian dan pengembangan. Lebih spesifik lagi, yang bertemakan energi terbaharukan. Dengan semakin menipisnya cadangan bahan bakar fosil. sebagian besar kerja keras diutamakan untuk (1) mencari sumber-sumber energi daru dan terbaharukan, (2) membuatnya efisien dan ekonomis, serta yang tidak kalah pentingnya ialah (3) menyimpan energi tersebut agar dapat dipakai berulang-ulang dan sewaktu-waktu.

Tema besar energi baru dan terbaharukan sebagai fokus penelitian dan pengembangan ini juga berhembus ke bidang garapan ilmu dan rekayasa material (Inggris : materials science and engineering). Sesuai dengan bidang ini, fokus kerja diarahkan pada bagaimana membuat dan merekayasa material atau bahan entah itu logam, semikonduktor/keramik maupun polimer untuk mencapai tiga poin-poin tujuan seperti tertulis di paragraf sebelumnya.

Contoh mutakhir dari poin pertama dan kedua ialah, pengembangan dan pencarian material yang terbaik untuk bahan-bahan sel surya (solar cell), sel bakar (fuel cell) atau turbin energi angin (wind power). Sedangkan penelitian di bidang baterei maupun media penyimpanan energi lain merupakan bentuk kongkrit dari poin ketiga. Hal ini belum ditambah dengan penelitian di bidang multidisipliner yang melibatkan hampir seluruh bidang ilmu terikait dalam memproduksi produk teknologi yang memanfaatkan energi baru dan terbaharukan, semisal mobil bertenaga surya, bertenaga baterei rechargeable bertenaga sel bakar atau gabungan antara beterei dengan bahan bakar konvensional yang disebut dengan teknologi hybrid yang dipelopori oleh kehadiran Toyota Prius saat ini.

2008-prius-hybrid-3

(Toyota Prius 2008, memakai mesin gabungan (hybrid) antara listrik-baterei dengan bahan bakar)

Penulis sendiri pernah menghadiri konferensi khusus mengenai topik ini, yakni ICEM 2008 lalu di Sydney, yang mengetengahkan sub-tema Materials for energy conversion. Semikonduktor untuk keperluan sel surya, material oksida dan polimer untuk keperluan sel bakar atau beberapa material lain untuk menghasilkan baterei yang jauh lebih baik merupakan topik-topik yang mendapat perhatian lebih dari peserta konferensi.

Sebuah trend besar

Sebenarnya ada satu lagi yang tidak sempat terbahas ketika menentukan silabus kuliah Energy Materials ini, yakni Materials for Environment (material untuk lingkungan). Idealnya, nama mata kuliah tersebut ialah Materials for Energy and Environment karena ke depannya, dunia tidak hanya menghadapi potensi masalah di bidang energi saja, namun juga di bidang lingkungan yang semua pihak sama-sama paham tentang kondisinya saat ini. Sebagai perumpamaan kesekian, konsep energi terbaharukan juga ditujukan untuk menjaga dan melestarikan lingkungan yang jelas berbeda kenyataan dengan bahan bakar fosil (terlebih BBM) yang ketika dipakai justru cenderung untuk memperburuk kualitas lingkungan.

Pengembangan material berbahan oksida semisal TiO2 untuk mereduksi polusi melalui proses katalis maupun aplikasi SnO2 untuk sensor gas beracun ialah salah satu topik penelitian material untuk lingkungan yang sangat pesat perkembangannya. Selain tentunya penelitian untuk mencari bahan material untuk lebih membuat sel surya maupun sel bakar semakin murah, semakin efisien dan semakin tinggi tingkat konversi energinya.

Sepanjang pengetahuan penulis, mata kuliah dan program pengajaran Energy Materials atau Materials for Energy and Environment tengah booming di tengah-tengah kampus, entah apakah itu di Korea maupun di belahan dunia lain. Korea University salah satu kampus selain kampus penulis yang sudah terlebih dahulu mengajarkan mata kuliah ini. Sementara itu, di Inggris, Heriot-Watt University baru-baru ini mengiklankan adanya kebutuhan seorang staf pengajar untuk membawakan mata kuliah Materials for Energy.

Mengejar tantangan

Bisakah kita mengikuti jejak trend besar dalam memperkenalkan sedini mungkin konsep-konsep energi dan lingkungan pada desain dan rekayasa ilmu material? Sejauh ini, penulis yakin jika dalam beberapa kesempatan perkuliahan di tanah air, konsep ini sudah dijabarkan secara, hanya saja masih tersebar pada pelbagai macam mata kuliah yang jelas kurang memberi fokus utama pada energi dan lingkungan.

Persoalan lain ialah pada kurikulum. Di negara maju, ilmu dan rekayasa material sudah lama dijadikan sebuah departemen tersendiri di bawah naungan fakultas. Meski jamaknya berada di fakultas teknik, namun tidak jarang sebuah departemen ilmu dan rekayasa material berada pada fakultas ilmu-ilmu alam (natural science).

Sejauh ini di tanah air, ilmu dan rekayasa material (materials science and engineering) pada umumnya masih merupakan sebuah bagian dari departemen fisika, yakni peminatan fisika material atau di bawah departemen kimia melalui peminatan kimia material. Dan mungkin hanya di Universitas Indonesia saja sudah berada pada jalur yang benar-benar murni ilmu dan rekayasa material karena sudah merupakan sebuah departemen tersendiri di dalam sebuah fakultas teknik. Dampak dari posisi sub-ordinat ilmu dan rekayasa material ada pada sejauh mana pertemuan multi disiplin ilmu yang diperlukan untuk memahami material itu sendiri.

Penulis mengambil beberapa contoh ilmu-ilmu dasar yang mutlak diperlukan untuk memahami konsep material untuk energi dan lingkungan; pengetahuan semikonduktor, mekanika kuantum, solid state physics merupakan cabang-cabang ilmu yang diadopsi dari fisika. Sedangkan konsep ikatan kimia, hibridisasi ikatan, konsep orbit molekul/atom atau solid state chemistry merupakan konsentrasi dari ilmu kimia. Dua ilmu-ilmu dasar (basic science) tadi diperkaya dengan pendekatan teknis melalui berbagai macam teknik pembuatan dan rekayasa yang khas terdapat pada ilmu keteknikan (engineering).

Tentu saja pengajar juga sangat memegang peranan penting dikala membawakan dan menyampaikan materi yang tergolong kompleks menjadi bahasa yang sederhana dan menarik untuk para peserta kuliah.

Selain faktor kurikulum, faktor teknis lapangan sendiri penulis yakin agak sedikit mempengaruhi kajian-kajian material untuk energi dan lingkungan. Di Indonesia, ilmu semikonduktor masih merupakan ilmu yang relatif asing dan kurang aplikatif. Asing karena memang belum banyak industri yang masuk ke industri yang tergolong high-tech ini yang diperparah dengan peran industri terkait yang sebatas assembly.. Ditambah lagi karakteristik sumber daya alam negara kita yang menuntut lebih banyak kajian-kajian yang bersifat pengolahan langsung sumber daya alam mineral semisal pertambangan, pemurnian, dan pembuatan mineral atau pengolahan bahan bakar fosil (minyak bumi, gas dan batu bara) membuat bidang ilmu dan rekayasa material difokuskan ke sana. Faktanya, ilmu inti dari material untuk energi dan lingkungan ialah ilmu yang berkaitan erat dengan semikonduktor dan seluk beluknya bahkan mutlak mengadopsi konsep nanoteknologi. Tidak hanya bagaimana membuatnya, namun juga bagaimana memahaminya.

10 Comments

Filed under Pendidikan Sel Surya

10 responses to “Mata Kuliah Baru : Energy Materials

  1. Selamat Om Adhi ๐Ÿ™‚
    Sebaik-baiknya belajar sesuatu adalah dengan mengajarkannya

    He, makasi Oom Irul. Biar ga kalah sama Oom nih, ngajarin mahassiwa :-p

  2. that’s very good news brother Adi … I thought, we can protect our future, I mean our earth, our lives, and every single thing in the world using renewable and clean energy …

    absolutely, environtment must be considered, of course …

    ummm ,,, btw, I have a question about solarcell brother … Is that true that Boron, Argon, Gallium, and Indium can get up to 100% efficiency from solar energy? Compared with Cu2ZnSnSe4?

    Thanks indeed brother … Gracias

    Thanks for enjoying my article. By the way, are you an Indonesian? ๐Ÿ˜€ Never mind.

    Anyway, no solar cells or materials could convert the 100% solar energy into electricity. Even a theoretical study revealed that the maximum efficiency of a solar cell is below 80%. Recently, the best solar cell’s efficiency is ~40% and to tell the truth, that kind of solar cell is very very extremely expensive to be commercialized. A solar cell using Cu2ZnSnSe4 compound have just considered as a potential solar cell. I said potential since the research on this compound material are still new, and the efficiency of this cell only about 2.16%. Now we are going to increase the efficiency of this cell by any means..

    Thanks for your comment as well..:-)

    Regards,
    ADHI

  3. mas boleh minta tlg klo ad rujukan jurnal tentang energi material ini krn utk pwndukung skripsi saya
    maksih

  4. Ketut Puja

    Boleh tahu gak silabus mata kuliah ini…
    syukur kalau ada SAP-nya.
    Nuwun

    Ketut Puja

  5. terima kasih pa Adhi,
    enerji surya makin nyata diperlukan dewasa ini, justru ketika PLN sering mati dimana2 di tanah air kita. mengapa pemerintah belum melirik energi yg berlimpah di nusantara ini. sangat ironis harga panel surya yg impor masih impor tsb, mahal dan dapat dijangkau oleh penduduk kota. sudah ada komitmen SBY untuk memanel suryakan perumahan penduduk perkotaan. sayang hanya sebatas komitmen, belum ada tindakan nyata. makin cepat makin baik kan. bila dibuat oleh bangsa sendiri, kan pasarnya tersedia melimpah.
    apakah bisa materi di alam ini yg mampu menyerap sinar surya 100% dan seoptimal mungkin dikonversi menjadi tenaga listrik untuk mengoperasikan peralatan listrik yg dimiliki banyak orang ? seperti serat optik yg dapat mengoptimalkan cahaya untuk peralatan digital ?
    terima kasih dari saya Eli. M di Ambon

    Salam Pak Eli,
    terima kasih kunjungannya.

    Sebelumnya, secara teknologinya, tidak ada yang dapat dikonversi 100%, khususnya ttg energi. Krn bnyk energi yang terbuang juga yang justru sesuai dengan kaidah kaidah alamiah. Jika kita memanng bahwa kendaraan berbahan bakar bensi ialah yg paling efisien, maka itu ialah salah. Sebagai contoh, kendaraan berbahan bakar bensin (mobil, truk, motor dll) hanya memiliki 16% efisiensi. Jadi, jika 100 liter bensin dipakai di kendaraan kita, sebenarnya ya hanya 16 liter yang “benar benar” mendorong kendaraan tsb karena ada faktor gesekan/hambatan ban dengan aspal, energi yg terbuang krn panas, bocor dsb. Perangkat elektronik apapun tidak bisa mengubang seluruh listrik, pasti ada energi yg terbuang, umumnya berupa panas. Jadi jika kita raba TV, laptop, komputer, radio kita panas, setelah dijalankan, maka itu salah satu bentuk energi yang terbuang tsb.

    Sama dengan sel surya maupun produk pembangkit energi lain. Ada hal2 yg membuat efisiensi itu jauh di bawah ekspektasi kita. Sel surya sendiri secara teoris hanya bisa mengubah 33% energi surya menjadi listrik. Dan sel surya di pasaran skr hanya berefisiensi 10-15%, masih jauh dari efisiensi teoris tsb. Hal ini krn ada hal hal fundamental hukum hukum fisika dan interaksi antara sel surya dengan cahaya, sebut saja singkatnya begitu.

    Memang intinya riset dan riset Pak. Riset itu yang mengarahkan apakah sel surya tsb bisa lebih efisien, lebih murah, memanfaatkan SDA kita dsb. Betul bahwa inisiatif itu mutalk ada. Mudah2an pengambil kebijakan kita paham betul urgensi energi tsb.

    Salam
    ADHI

  6. danar

    asalam…
    mas..saya sangat tertarik dengan energi surya ini…kmrin skripsi saya tentang sel DSSC tapi kajian saya di elektrolit sel DSSC tersebut menggunakan elektrolit cairan ionik…saya pengen lanjutin penelitian ini tapi masih bingung. mungkin da saran dari mas. maksih

  7. Pembaca

    Hanya jadi terpikir saat membaca tulisan Anda tentang pendapat Anda yang menghubungkan mata kuliah enery material yang membutuhkan solid-state physics dan solid-state chemistry dengan keberadaan departemen ilmu dan rekayasa material di bawah fakultas teknik. Menurut Anda dalam mempelajari solid-state physics diperlukan mata kuliah-mata kuliah apa? Bukankah sebagian besar merupakan mata kuliah yang diajarkan di fakultas ilmu-ilmu alam? Demikian pula solid-state chemistry. Mungkin akan lebih tepat jika tidak mengkotak-kotakkan ilmu ke dalam fakultas namun yang perlu dilakukan adalah mengembangkan riset yang bersifat multi disiplin. No offense ๐Ÿ™‚

    • Adhi

      Merasakan emang beda … haha.
      Ya maksudnya, bynk hal fundamental yang didapat di perkuliahan solid state chem atau phys yang sangat menunjang topik energy materials. Dan memang, kupasan terbaik dan terdalam ada di fakultas mipa dengan dept. Fisika atau Kimianya. Namun jika solid state chem. atau phys. ini jg dijadikan bahan utama di fakultas teknik semisal ilmu material, maka pemahaman integratif antara teknik pembuatan atau pemrosesan material dengan pemahaman dasarnya, bisa dengan sekaligus berjalan. Tp menurut saya sekedar pengenalan atau introduction saja, solid state phys atau chem dah cukup.
      Ah, mengembangkan riset? Multidisiplin? Saya ndak membahas itu lah, krn ini skupnya masih di pengajaran undergraduate.
      Lagi pula, terlalu tinggi berbicara riset apalagi multidisiplin untuk kita…. ๐Ÿ™‚

  8. Aria

    Tidak tertarik meneliti graphene?
    Salam, Aria

Leave a comment